Persahabatan
Mentari begitu terang menyinari bumi ini memberikan efek terbakar saat menembus permukaan baju dan mengenai kulit. Pelajaran olahraga kali ini adalah permainan bola besar. Pasti tak asing lagi di telinga kalian ketika mendengar nama permainan ini.
Bola yang sekelingnya ada empat garis berwarna hitam serta dengan warna dasar oranye. Sekilas saat sedang haus melihat bola ini sama seperti melihat sebuah jeruk.
Setelah melakukan pegambilan nilai praktek, kami diberikan waktu istirahat.
Dengan cepat aku melesat pergi ke kantin, aroma sejuk dan dingin dari dalam kulkas langsung menyentuh kulit. Kuambil sebotol air mineral dan langsung meminumnya, rasanya begitu nikmat saat segerombolan air yang lewat melalui tenggorakkanku ini memberikan sensasi yang begitu dingin.
Dengan mengeluarkan uang sepuluh ribu, aku pergi keluar kantin. “Kania, main basket tuh.”
“Iya,”
Aku berjalan melalui koridor kelas yang mengarah langsung ke lapangan basket. Mataku tertuju kepada orang yang ada di depanku, ia sedang menonton permainan basket yang ada di depannya.
“Eh, Dek. Bisa tolong kasihin minum ke orang itu. Jangan bilang dari saya, tapi bilang aja dari kamu ya,” mintaku padanya.
“Oke kak,” balasnya.
Aku melanjutkan langkah kaki ini menuju kelasku. Lelah. Itulah yang kurasakan kini. Aku merebahkan badanku ke kursi setidaknya rasa lelah ini bisa berkurang sedikit.
Langit begitu biru namun setelah beberapa saat semuanya berubah. Tiba-tiba saja angin bertiup dengan sangat kencang, menerbangkan daun-daun dari pohon dan langit begitu gelap sehingga membuat aroma mistis yang terasa begitu kental.
Aku langsung menambah kecepatan untuk berlari, tetes demi tetesan mulai berjatuhan. Semakin lama tetesan itu semakin cepat dan sebuah kilatan tajam melintas di depan mataku.
Langkahku terhenti sesaat memandang lurus ke depan. Air mata sudah memenuhi kelopak mata membuat penglihatan mataku sedikit kabur. Saat aku memejamkan mata secara perlahan, saat itu juga bulir ini mengalir melintasi wajahku bersamaan dengan tetesan hujan.
Tak ada yang spesial dalam diriku. Aku sama seperti yang laiin, seorang remaja yang mulai mengerti akan kata suka. Jika boleh memilih aku tak ingin memliki rasa suka tapi sayang semua itu sudah takdir.
“KANIA!!”
Aku langsung menoleh kepadanya, “Enggak usah teriak juga manggilnya, bisa?”
Dia menatap tajam ke arahku dan tiba-tiba tersenyum yang menimbulkan sejuta tanya dalam hati.
“Aku udah panggil kamu lebih dari 10 kali, makanya aku teriak,” balasnya. Aku hanya terdiam karena, memang aku tidak mendengar apapun kecuali yang dibagian dia teriak.
“Kamu mikirin apa?” tanyanya. Aku menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan tandanya tidak. Ia menghelah nafas dengan berat, “Apapun itu saya cuma bisa doa yang terbaik,” ucapnya.
Jam pelajaran dilanjutkan kembali, penjelasan dari guruku dengar dengan baik. Tiba-tiba lonceng berbunyi, membuat guru mengakhiri pelajaran dan semua siswa berhamburan keluar.
“Fif, dia itu beneran?” tanyaku.
“Sepertinya iya, tapi aku kurang tau. Kamu masih?” balasnya menatapku. Aku menganggukkan kepala tanda iya.
Kami berjalan keluar menuju gerbang sekolah, sudah tak ada siapapun di sini hanya ada aku dan Afifah yang ada di sebelahku. Mataku menerang ke segala penjuru. Sudah pulang.
Saat hampir tiba di gerbang sekolah, titik fokus lensa mataku tiba-tiba saja berhenti dan tidak mau bergerak. Aku mencoba memfokuskan penglihatanku. Aku benar, tidak salah lihat.
Aku mencoba menahan semuanya, hingga seorang menepuk pundak ku. Aku hampir melupakannya dari tadi aku masih bersama Afifah. “Aku cuma ingin kamu tau yang sebenarnya kalau yang aku bilang itu benar Kania,” ucapnya berat.
Beri Komentar